Setelah kejatuhan banyak startup besar yang dulunya dianggap sebagai raksasa, kita menyaksikan munculnya sentimen anti-startup. Istilah ini merujuk pada bentuk usaha yang berfokus pada profitabilitas dan pertumbuhan organik, berbeda jauh dari startup yang sering kali terjebak dalam ambisi ekspansi besar-besaran. Dalam situasi ekonomi yang bergejolak, kita melihat bagaimana perusahaan-perusahaan ini bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga mengalahkan banyak startup besar dalam hal keuntungan dan keberlanjutan.
Kita masih ingat satu dekade yang lalu, ketika dunia bisnis dipenuhi oleh kemunculan perusahaan-perusahaan rintisan atau startup. Banyak anak muda terinspirasi oleh kisah sukses Silicon Valley dan berambisi untuk menciptakan perusahaan-perusahaan mereka sendiri. Mereka percaya bahwa dengan ide yang disruptif dan kerja keras, mereka bisa membangun perusahaan seperti Amazon, Meta, atau Google, bahkan berharap bisa menjadi unicorn dengan valuasi miliaran dolar.
Semangat itu semakin menggebu ketika Y Combinator muncul pada tahun 2006, memberikan dukungan modal awal dan bimbingan kepada startup. Dari sana, lahir berbagai pemain besar di tingkat global, seperti Airbnb dan Dropbox. Di Indonesia, ekosistem startup juga mulai berkembang pesat, dengan inkubator dan akselerator lokal yang menawarkan pelatihan serta akses ke investor. Pemerintah pun ikut mendukung dengan meluncurkan program startup Indonesia untuk mendorong lahirnya seribu startup dalam lima tahun.
Namun, seiring dengan pertumbuhan yang pesat, kita menyaksikan bahwa banyak startup terjebak dalam strategi “bakar uang”. Mereka menggelontorkan dana besar untuk pemasaran agresif demi menarik pelanggan, berharap pertumbuhan pengguna yang eksponensial akan meningkatkan valuasi pasar. Namun, kita juga melihat risiko besar di balik strategi ini. Ketika pertumbuhan pengguna tidak seimbang dengan pendapatan, banyak startup menghadapi masalah arus kas yang negatif.
Contoh nyata dari hal ini adalah WeWork, yang tumbuh pesat namun akhirnya mengalami penurunan valuasi yang drastis. Di saat yang sama, kita juga menyaksikan munculnya fenomena “zombie startup”, yaitu startup yang tetap beroperasi hanya karena suntikan dana dari investor, meskipun model bisnisnya tidak jelas dan tidak berkelanjutan.
Pandemi COVID-19 semakin memperparah keadaan. Banyak startup seperti Airbnb dan Uber mengalami penurunan performa yang tajam akibat lockdown dan pembatasan perjalanan. Di tengah krisis ini, kita melihat bahwa bisnis-bisnis skala kecil yang fokus pada profitabilitas dan pertumbuhan organik justru mampu bertahan. Mereka tidak terjebak dalam ambisi ekspansi besar-besaran, melainkan memilih untuk menjaga stabilitas keuangan dan meningkatkan kualitas layanan bagi pelanggan.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa ada banyak cara untuk meraih sukses dalam bisnis. Kita mulai menyadari bahwa keberhasilan perusahaan-perusahaan kecil yang fokus pada profitabilitas bisa menjadi inspirasi bagi banyak pengusaha. Mereka menunjukkan bahwa keberlanjutan dan stabilitas lebih penting daripada sekadar pertumbuhan yang cepat.
Seiring berjalannya waktu, ekosistem startup di Indonesia mulai melemah. Modal yang dulunya berlimpah kini sulit diperoleh, dan para investor menjadi lebih selektif, hanya mau bekerja sama dengan startup yang menunjukkan profitabilitas. Kita melihat laporan yang menunjukkan penurunan tajam dalam pendanaan swasta untuk startup di Asia Tenggara, dan dampaknya terasa di seluruh sektor digital.
Dalam situasi ini, kita menyaksikan beberapa startup e-commerce yang mulai mengurangi biaya pemasaran dan lebih fokus pada peningkatan kualitas layanan pelanggan. Gojek, misalnya, telah mengubah strateginya untuk lebih fokus pada perkembangan bisnis jangka panjang, alih-alih membakar uang.
Kita menyadari bahwa keruntuhan banyak startup besar telah mengubah pandangan para pengusaha dan investor. Kini, mereka lebih memilih startup yang mampu menunjukkan kestabilan dan profitabilitas, bukan hanya pertumbuhan yang eksponensial. Tren investasi pada tahun 2024 diprediksi akan lebih fokus pada startup yang sudah mendekati profitabilitas.
Kita juga melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan kecil yang tidak bergantung pada modal besar, tetapi tetap fokus pada keuntungan. Mereka berhasil menjaga arus kas positif dan membangun hubungan yang kuat dengan pelanggan. Contoh seperti Craigslist dan MidJourney menunjukkan bahwa fokus pada nilai nyata bagi pelanggan bisa membawa kesuksesan yang berkelanjutan.
Dalam perjalanan ini, kita belajar bahwa membangun startup adalah tantangan besar yang membutuhkan perencanaan matang. Mendapatkan pendanaan dari investor bukanlah satu-satunya jalan menuju sukses. Banyak cara lain yang bisa dilakukan, dan sejarah telah membuktikan bahwa perusahaan yang dikelola dengan bijak dan fokus pada menciptakan nilai bagi pelanggan akan bertahan dalam jangka panjang.