Dari Awal yang Sederhana hingga Dominasi di Sepak Bola Italia, Kisah Singkat Juventus

Dari Awal yang Sederhana hingga Dominasi di Sepak Bola Italia, Kisah Singkat Juventus

Juventus didirikan sebagai Sport Club Juventus pada akhir tahun 1897 oleh sekelompok murid dari sekolah Massimo D’Azeglio Liceum di Turin. Dua tahun kemudian, klub ini berganti nama menjadi Football Club Juventus. Pada tahun 1900, Juve mulai berpartisipasi dalam Liga Sepak Bola Italia, dan lima tahun setelahnya, mereka berhasil meraih gelar liga pertama mereka.

Setelah Perang Dunia I, pada tahun 1923, Juventus diakuisisi oleh keluarga Agnelli, pemilik pabrik mobil Fiat. Tidak lama setelah itu, kesuksesan mulai menghampiri klub. Dari tahun 1930 hingga 1935, Juventus meraih gelar liga secara berturut-turut. Gianni Agnelli, yang saat itu masih kecil, selalu menyaksikan kejayaan klub di samping ayahnya. Setelah Perang Dunia II, Gianni Agnelli kemudian menjabat sebagai presiden klub dan membawa Juventus menjadi salah satu klub tersukses di Italia hingga akhir dekade 1970-an.

Pada awal tahun 1981, adik kakak Agnelli, Yani dan Umberto, berkumpul di villa keluarga di kaki pegunungan Alpen untuk merencanakan masa depan klub. Saat itu, Juventus merayakan gelar liga ke-19, yang memberikan hak kepada mereka untuk menempelkan simbol tricolore pada jersey. Hanya ada tiga tim di Italia yang berhasil meraih prestasi tersebut, selain Juventus, yaitu AC Milan dan Inter Milan. Juventus kini membidik target untuk meraih bintang ganda, yang berarti mereka harus memenangkan gelar ke-20.

Kecintaan keluarga Agnelli terhadap klub sangatlah besar, meskipun mereka juga sibuk mengelola pabrik Fiat, yang merupakan pemberi kerja terbesar di Italia. Di tengah kesibukan mereka bertemu dengan tokoh-tokoh berpengaruh dunia, seperti Kennedy dan Pangeran Charles, mereka selalu menyempatkan waktu untuk datang ke stadion.

Pada tanggal 25 April 1982, Juventus menghadapi pesaing kuat mereka, Inter Milan, di Stadion Comunale Turin. Dalam pertandingan yang sangat ketat, Juve harus meraih setiap poin yang bisa didapatkan. Mereka berhasil unggul berkat gol penalti dari Liam Brady, seorang playmaker asal Irlandia. Meskipun kompetisi belum berakhir, presiden klub, Boni Perotti, masih memimpikan bintang kedua, sementara Yani Agnelli sudah merencanakan untuk merekrut bintang muda Prancis, Michel Platini.

Namun, kabar tentang transfer ini bocor ke publik, yang membuat Liam Brady merasa terancam posisinya di tim. Dalam pertandingan terakhir liga, di mana Juve membutuhkan poin untuk memastikan gelar juara, mereka bertandang ke kandang Catanzaro. Di menit ke-70, Juve mendapatkan penalti, dan Liam Brady, yang menjadi penendang, berhasil menjebol gawang lawan. Kemenangan ini memastikan gelar ke-20 bagi Juventus.

Tahun itu menjadi tahun yang bersejarah, karena para pemain Juventus juga merupakan tulang punggung tim nasional Italia, seperti Gaetano Scirea, Dino Zoff, Antonio Cabrini, Claudio Gentile, dan Paolo Rossi. Gelar klub di tahun itu dilengkapi dengan prestasi lainnya, di mana Italia juga menjadi juara Piala Dunia 1982.

Memasuki tahun kompetisi berikutnya, Umberto Agnelli sibuk mengkampanyekan jersey baru Juventus yang menampilkan double bintang. Namun, Yani Agnelli tidak terlalu terkesan dengan prestasi tersebut dan lebih memilih untuk melupakan dua bintang itu, karena baginya, itu adalah prestasi masa lalu yang hanya berkutat di kompetisi domestik.

Dengan mengandalkan Michel Platini sebagai senjata utama, Giani Agnelli merencanakan agar klubnya dapat meraih semua gelar, termasuk di kompetisi level Eropa. Platini benar-benar menjalankan perannya sebagai inspirator baru tim setelah kepergian Liam Brady. Meskipun demikian, Platini hanya berhasil mengantarkan Juventus meraih gelar juara liga di tahun keduanya; pada tahun pertamanya, klub gagal dan hanya berhasil meraih gelar Coppa Italia. Namun, meskipun menjadi bintang, Platini tetap menghormati sosok Diego Maradona.

Pada tahun 1985, Juventus menghadapi ujian berat ketika bertemu Liverpool, sang raja Eropa, di final Liga Champions yang diadakan di Brussels. Meskipun mereka berhasil meraih gelar juara, tragedi menyelimuti pertandingan tersebut, di mana 39 orang, sebagian besar adalah warga Italia, kehilangan nyawa. Meskipun demikian, Juventus melanjutkan perjuangan mereka dan setelah final Liga Champions, mereka berangkat ke Tokyo untuk bertanding melawan Argentinos Juniors di final Piala Interkontinental.

Dalam pertandingan tersebut, Juventus terpaksa bertanding hingga perpanjangan waktu, tetapi akhirnya berhasil menang melalui adu tendangan penalti. Dengan kemenangan ini, mereka berhasil memboyong semua gelar yang diinginkan oleh Giani Agnelli. Platini juga meraih penghargaan Golden Ball tiga kali berturut-turut sejak direkrut dari Saint-Étienne. Kesuksesan besar Juventus ini memicu tim-tim lain untuk melakukan investasi besar-besaran.

Pada tahun 1986, seorang pengusaha muda bernama Silvio Berlusconi datang ke San Siro untuk membeli AC Milan, yang saat itu berada di ambang kebangkrutan. Sejak kedatangannya, Berlusconi langsung mengambil langkah agresif, sementara klub lain, termasuk Juventus, hanya membeli satu hingga tiga pemain bintang. Tindakan Berlusconi untuk melengkapi timnya dengan pemain bintang kelas satu dan dua, termasuk Trio Belanda dan Carlo Ancelotti, membuat Juventus terdesak dari singgahsananya.

Akhirnya, dengan pensiunnya Michel Platini pada tahun 1987, AC Milan benar-benar mendominasi akhir dekade 1980-an, sementara Juventus mengalami penurunan dan tidak mampu menandingi kekuatan tim merah-hitam tersebut.

Keluarga Agnelli akhirnya menemukan sosok bintang besar sepak bola Italia yang mereka sebut sebagai “the next Platini,” yaitu Roberto Baggio. Baggio direkrut dari Fiorentina pada tahun 1990 dengan rekor transfer dunia sebesar 8 juta dolar. Kehadiran bintang baru ini dilengkapi dengan pelatih baru, Luigi Maifredi, yang berasal dari Bologna dan menjanjikan permainan sepak bola yang menawan.

Namun, pada bulan Oktober tahun itu, Eduardo Agnelli, anak Giani Agnelli, yang sudah menjabat di jajaran manajemen, terlibat dalam masalah hukum terkait kepemilikan narkoba di Kenya. Meskipun ia berhasil lolos dari jeratan hukum, kasus tersebut berdampak pada suasana tim. Sayangnya, di bawah kepemimpinan Maifredi, Juventus hanya mampu menyelesaikan musim di posisi ketujuh.

Seiring dengan bertambahnya usia Giani Agnelli, ia mulai menyerahkan tanggung jawab klub kepada Umberto Giovanni Agnelli, anaknya. Umberto kemudian menggantikan posisi Eduardo dan menyadari bahwa Juventus perlu melakukan gebrakan besar untuk menahan laju AC Milan, yang semakin mendominasi. Giani, yang sebelumnya tidak peduli dengan pencapaian gelar, kini mulai khawatir agar tim merah-hitam tidak menyamai prestasi mereka.

Untuk itu, Juventus melakukan perombakan besar-besaran dengan memanggil kembali Giovanni Trapattoni dan merekrut sejumlah pemain bintang, termasuk Antonio Conte, Jürgen Klinsmann, dan Steffen Reuter dari Jerman. Namun, upaya tersebut masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Juventus kemudian merekrut Gianluca Vialli, Fabrizio Ravanelli, dan playmaker Jerman, Andreas Müller, tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Mereka juga melakukan investasi masa depan dengan merekrut Alessandro Del Piero, yang sangat diinginkan oleh AC Milan. Sayangnya, semua biaya yang dikeluarkan hanya menghasilkan kepedihan, menyaksikan AC Milan meraih hat-trick juara.

Pada tahun 1994, Luciano Moggi diangkat sebagai direktur klub, dan pelatih Marcelo Lippi pun datang untuk mengedepankan kerja keras dan semangat kebersamaan dalam tim. Dengan dukungan jangkar Didier Deschamps dan playmaker Paulo Sosa, Juventus meraih kemenangan di awal musim. Meskipun sempat mengalami kekalahan dari Foggia, motivasi dari Lippi mulai membangkitkan semangat para pemain, dan tim pun mulai bermain secara kolektif.

Meskipun Juventus kehilangan Roberto Baggio karena cedera, Alessandro Del Piero muncul sebagai penggantinya. Akhirnya, setelah penantian selama delapan tahun, Juventus berhasil meraih gelar Scudetto di musim tersebut. Namun, tantangan dari AC Milan tetap ada, dan pada tahun 1995, muncul pesaing baru dalam persaingan, yaitu Inter Milan, yang dipimpin oleh Massimo Moratti, anak dari Angelo Moratti, presiden legendaris yang membawa Inter merajai Italia di era 60-an.

Meskipun Inter Milan belum mampu menandingi AC Milan yang tetap menjadi pesaing utama, mereka berhasil meraih gelar Piala Champions Eropa. Di bawah arahan Lippi, Juventus kembali merebut Scudetto pada musim 1996-1997 setelah diperkuat oleh Zinedine Zidane. Pada tahun yang sama, mereka juga berhasil merebut Piala Interkontinental dan Coppa Italia. Namun, Inter Milan yang ambisius, di bawah kepemimpinan Moratti, langsung memecahkan rekor transfer untuk merekrut Ronaldo dari Barcelona, menambah ketatnya persaingan di liga.

Memasuki musim 1997-1998, Juventus mengalami duka mendalam setelah kehilangan Giovanni Agnelli di usia yang masih muda. Regenerasi pun dilakukan dengan mengangkat Andrea Agnelli untuk menggantikan posisi kakaknya, bersamaan dengan John Elkann, yang merupakan keturunan Giani. Pengangkatan John ini tidak pernah dibicarakan oleh Giani kepada Eduardo, yang membuat sang paman kecewa melihat ponakannya yang masih sangat muda menempati posisi yang seharusnya menjadi haknya.

Meskipun demikian, Juventus tetap konsisten dalam penampilannya dan berhasil mempertahankan gelar, mencapai pencapaian ke-25. Namun, perjalanan menuju gelar ke-30 yang diimpikan Giani tidak semudah yang dibayangkan. Pada tahun berikutnya, Juventus justru terpuruk keluar dari tiga besar, sementara AC Milan di bawah arahan Alberto Zaccheroni muncul sebagai juara.

Marcelo Lippi kemudian dipecat dan digantikan oleh Carlo Ancelotti, yang sebelumnya sukses menangani Parma. Di bawah Ancelotti, Juventus kembali menunjukkan performa yang baik, terutama dengan penampilan Zinedine Zidane yang semakin menggila. Namun, perebutan juara harus ditentukan hingga akhir kompetisi, dan pada laga terakhir, Juventus malah kalah dari tim medioker, Perugia. Lazio muncul sebagai juara musim tersebut.

Musim berikutnya, suasana di kubu Juventus menjadi semakin kelam setelah Eduardo Agnelli ditemukan tewas setelah melompat dari jembatan. Kematian tragis ini mengingatkan kembali pada tragedi yang menimpa keluarga Agnelli, di mana ayah Giani, Eduardo, juga meninggal dunia pada tahun 1935 akibat kecelakaan pesawat. Juventus kembali menjadi runner-up di tahun itu, yang memaksa keluarga Agnelli untuk mengambil keputusan drastis. Mereka memecat Carlo Ancelotti dan memanggil kembali Marcelo Lippi, yang sebelumnya gagal di Inter Milan.

Sebagai pengganti Edwin van der Sar, Juventus merekrut kiper muda berbakat, Gianluigi Buffon, dari Parma. Mereka juga melepaskan Zidane, yang sedang berada di puncak penampilannya, ke Real Madrid dan menggantikannya dengan Pavel Nedvěd dari Lazio. Musim kompetisi 2001-2002 berlangsung ketat, di mana Inter Milan digadang-gadang akan meraih gelar juara. Namun, Juventus berhasil mendekat dan selisih satu angka menjelang pertandingan terakhir.

Pada laga penentu, Inter bertandang ke Lazio, sementara Juventus bertandang ke Udinese. Juventus unggul 2-0 di babak pertama, sementara Inter tertinggal 2-2 dari Lazio. Di sisa waktu, Juventus berhasil merebut gelar ke-26 mereka. Sayangnya, itu adalah gelar terakhir yang bisa dinikmati oleh Giani Agnelli, yang meninggal dunia pada Januari 2003 di usia 82 tahun. Juventus kembali meraih gelar ke-27, sementara Inter selalu mengekor di belakang.

Setahun setelah kepergian Giani, Umberto Agnelli juga meninggal dunia akibat penyakit kanker, meninggalkan warisan besar bagi keluarga Agnelli. Andrea dan John Elkann kemudian mengambil alih perusahaan serta klub kesayangan mereka, diikuti oleh adik John, Lapo Elkann, yang memperkuat generasi baru keluarga Agnelli. Tahun transisi itu dilalui tanpa gelar.

Tahun berikutnya, Luciano Moggi melakukan gebrakan besar dengan merekrut Fabio Capello, Fabio Cannavaro, dan striker Swedia yang sedang meroket, Zlatan Ibrahimović. Juventus kembali tak tertandingi dan meraih gelar ke-28 di musim 2004-2005. Namun, menjelang akhir musim, publik Italia dikejutkan oleh bocornya transkrip percakapan antara Moggi dan beberapa ofisial pertandingan, yang mengindikasikan adanya pengaturan pertandingan.

Dalam suasana yang semakin tegang, Juventus mendapat tekanan dari media dan pihak rival, hingga Yan Luka Pesotto, yang sangat stres, mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai tiga sebuah gedung, namun berhasil selamat. Setelah penyidikan, ditemukan bahwa Juventus telah melakukan pelanggaran terkait pengaturan pertandingan, yang membuat klub terdegradasi ke Serie B dan dipotong 17 poin. Gelar juara yang diraih dalam dua musim sebelumnya juga dicoret.

Kontroversi berlanjut mengenai siapa yang berhak menyandang gelar di tahun 2006, karena klub posisi kedua, AC Milan, juga terlibat dalam skandal tersebut, bersama dengan Fiorentina. Akhirnya, gelar juara diberikan kepada klub posisi ketiga, yang menambah kompleksitas dan kesedihan dalam sejarah Juventus.

Massimo Moratti akhirnya bisa bernapas lega setelah AC Milan meraih gelar juara. Sementara itu, Fiorentina tidak dijatuhi hukuman turun ke Serie B karena pelanggaran yang mereka lakukan dianggap tidak separah Juventus. Turunnya Juventus ke Serie B menyebabkan guncangan besar dalam skuad, di mana beberapa nama besar langsung hengkang. Namun, beberapa pemain penting seperti Fabio Cannavaro, Emerson, Lilian Thuram, Patrick Vieira, dan Gianluca Zambrotta memutuskan untuk bertahan. Di sisi lain, Gianluigi Buffon dan David Trezeguet mengikuti langkah para pemain yang hengkang, sementara Alessandro Del Piero dan Pavel Nedvěd memilih untuk tetap setia.

Pelatih Fabio Capello juga memutuskan untuk meninggalkan klub, dan posisinya digantikan oleh Didier Deschamps. Untuk mengatasi surutnya semangat para suporter, Lapo Elkann turun ke jalan untuk mengkampanyekan dukungan setia terhadap Si Nyonya Tua. Pada 9 September 2006, Juventus menjalani debutnya di Serie B dengan melawan Rimini. Bagi para pemain kelas dunia di Juventus, pertandingan di stadion kecil itu terasa seperti bermain di level yang lebih rendah. Namun, Juventus gagal mengalahkan tim kecil tersebut, yang memicu komentar dari Lapo bahwa timnya tidak bertanding layaknya tim besar.

Kritikan tersebut membuat para pemain terlecut untuk berjuang lebih keras. Sejak saat itu, Juventus mulai menunjukkan performa yang membaik dan berhasil keluar dari zona degradasi, promosi bersama Napoli dan Bologna. Sementara itu, di Serie A, Inter Milan yang dilatih Roberto Mancini melaju dengan perkasa, meraih gelar Scudetto dengan bantuan Zlatan Ibrahimović, yang sebelumnya membelot dari Juventus.

Tahun berikutnya, tim promosi dari Serie B ini berhasil mengalahkan Inter Milan, memberikan sedikit rasa malu bagi Ibrahimović, meskipun Inter tetap meraih gelar Scudetto. Juventus langsung menyodok ke peringkat ketiga. Pada musim 2008-2009, Inter masih terlalu kuat, sementara Juventus hanya berada satu peringkat di bawahnya. Pada akhir musim itu, Pavel Nedvěd memutuskan untuk pensiun, dan Juventus kesulitan mencari penggantinya.

Memasuki musim 2009-2010, Juventus mengalami penurunan performa hingga terpuruk ke posisi ketujuh, sementara Inter meraih gelar juara kelima secara berturut-turut meskipun telah ditinggal Ibrahimović yang dibeli oleh Barcelona. Dalam situasi yang semakin genting, keluarga Agnelli melakukan gebrakan dengan mengangkat Andrea Agnelli sebagai presiden klub, menggantikan Giovanni Cobolli Gigli yang lebih fokus pada urusan manajemen internal.

Namun, musim pertama Andrea Agnelli sebagai presiden tidak memberikan dampak instan. Juventus terus mengalami hasil buruk, seiring dengan meredupnya performa Alessandro Del Piero, sementara posisi komando tim mulai sering diambil alih oleh Giorgio Chiellini. Juventus kembali terpuruk ke posisi tujuh, sementara Inter Milan terdepak dari singgasana juara, memberi kesempatan bagi AC Milan untuk bangkit dengan Ronaldinho dan Ibrahimović yang dipinjam dari Barcelona.

Memasuki musim 2011-2012, Andrea Agnelli awalnya berencana memperpanjang kontrak manajer Luigi Delneri. Namun, ia akhirnya memperkenalkan calon manajer masa depan, Antonio Conte. Di awal musim, Juventus bertandang ke Parma dengan mengandalkan Andrea Pirlo, yang baru saja habis kontrak dengan AC Milan. Di babak pertama, Juventus unggul lewat gol Stephan Lichtsteiner. Namun, Conte marah kepada pemainnya yang bermain terlalu nyaman. Di babak kedua, Juventus menambah tiga gol lagi, berkat suasana intens di ruang ganti.

Bulan berikutnya, Juventus bertandang ke kandang juara bertahan, AC Milan, yang sudah diperkuat Ibrahimović. Duet Chiellini dan Leonardo Bonucci berhasil mematikan pergerakan Ibra, dan Juventus unggul 1-0 lewat gol Claudio Marchisio. Kemenangan tersebut semakin memperkuat kepercayaan diri tim. Bulan berikutnya, Juventus menahan Napoli di kandangnya dan juga menahan Roma, di mana aksi heroik Gianluigi Buffon yang menyelamatkan penalti Francesco Totti semakin mempertebal semangat tim.

Hingga bulan April tahun berikutnya, Juventus tetap tidak terkalahkan dalam 35 pertandingan. Dengan empat pertandingan tersisa, mereka melesat menjadi favorit juara. Satu-satunya tim yang bisa menghentikan langkah mereka adalah AC Milan. Dengan tiga pertandingan tersisa, Juventus dan Milan hanya terpaut tiga poin.

Pada pertandingan ke-36, Juventus menghadapi Lecce. Di menit awal, mereka sudah berhasil mencetak gol, dan kondisi terasa nyaman bagi mereka. Namun, di menit-menit akhir babak kedua, Gianluigi Buffon melakukan blunder yang jarang terjadi, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemain depan Lecce untuk menyamakan kedudukan. Pertandingan yang seharusnya dimenangkan Juventus tiba-tiba berakhir imbang.

Sementara itu, di pertandingan lain, AC Milan berhasil mengalahkan Atalanta, sehingga jarak mereka dengan Juventus kini hanya tersisa satu poin. Pada pertandingan berikutnya yang menentukan, Juventus akan menghadapi Cagliari, sementara Milan akan dijamu oleh rival satu kota, Inter Milan.

Juventus kembali unggul di awal laga melawan Cagliari, meskipun mereka tidak berhasil menambah gol. Di Milan, pertandingan berlangsung seru. Setelah tertinggal satu gol, AC Milan bangkit dan berbalik unggul 2-1 berkat dua gol dari Zlatan Ibrahimović. Ketegangan semakin meningkat saat memasuki babak kedua. Di kota Milan, Inter memperkecil ketinggalan melalui Diego Milito, sementara Juventus berhasil menambah gol di Cagliari, yang menjadi gol terakhir dalam pertandingan tersebut.

Di Milan, gol-gol terus terjadi, tetapi tidak ada dari kubu Ibra. Diego Milito mencetak hat-trick, dan Maicon menambah penderitaan bagi AC Milan. Beberapa menit kemudian, Milan kalah 2-4, dan Juventus berhasil memastikan gelar juara di pertandingan ke-37. Kemenangan ini menandai kebangkitan Juventus setelah terpuruk di Serie B beberapa tahun sebelumnya.

Tahun itu, Juventus meraih gelar ke-28 mereka, yang menjadi fondasi bagi lahirnya skuad yang mendominasi dekade berikutnya. Mereka melanjutkan kesuksesan dengan meraih gelar secara berturut-turut hingga musim 2019-2020, dan akhirnya menggenapkan gelar ke-30 di musim 2013-2014, memenuhi impian mendiang Giani Agnelli, sosok penting dalam sejarah klub. Setelah tiga tahun mengalami penurunan, Juventus kini sedang berlomba untuk kembali ke jalur juara.

 

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *