Dunia saat ini sedang menghadapi berbagai konflik yang mengkhawatirkan, termasuk perang di Ukraina dan ketegangan yang berkepanjangan di Timur Tengah. Perang di Ukraina telah memasuki tahun kedua, sementara konflik di Palestina dan Suriah terus merenggut banyak nyawa dan menghancurkan infrastruktur. Dalam konteks ini, kejatuhan Damaskus pada 8 Desember 2024 menjadi momen penting yang menandai perubahan signifikan dalam geopolitik kawasan.
Kejatuhan Damaskus dan Rezim Bashar al-Assad
Kejatuhan Damaskus terjadi ketika kelompok pemberontak, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil menguasai istana kepresidenan dan memaksa Presiden Bashar al-Assad untuk melarikan diri. HTS, yang sebelumnya dikenal sebagai Jabhat al-Nusra, memiliki sejarah panjang sebagai kelompok yang terhubung dengan al-Qaeda. Serangan ini dimulai pada 27 November 2024, saat gencatan senjata antara Israel dan Lebanon mulai diberlakukan, dan dalam waktu singkat, mereka berhasil merebut kota-kota penting seperti Aleppo dan Hama.
Pernyataan dari Perdana Menteri Suriah, Muhammad Gazi al-Jalali, menunjukkan bahwa pemerintah baru siap bekerja sama dengan pihak manapun yang dipilih oleh rakyat Suriah. Namun, pertanyaan besar muncul: apa yang sebenarnya terjadi di Suriah dan siapa yang diuntungkan dari perubahan ini?
Geopolitik dan Kelemahan Dukungan Iran serta Rusia
Kejatuhan Damaskus menunjukkan betapa lemahnya dukungan Iran dan Rusia terhadap rezim al-Assad. Perang di Ukraina telah mengalihkan perhatian dan sumber daya Rusia, sementara Iran juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan posisinya di Suriah. Selama bertahun-tahun, Suriah telah menjadi medan pertempuran bagi berbagai kelompok bersenjata, termasuk ISIS dan kelompok proksi yang didanai oleh negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi.
Kekalahan al-Assad dan goncangnya rezim Baat di Suriah menunjukkan bahwa dukungan militer dari Iran dan Rusia tidak lagi cukup untuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini juga menciptakan peluang bagi Israel untuk memperkuat posisinya di kawasan, mengurangi ancaman yang selama ini ditakuti.
Peran Turki dan Kekuatan Intelijen
Turki, di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdoğan, memainkan peran ganda dalam konflik ini. Meskipun secara retoris mendukung Palestina, Turki juga mendanai dan mendukung kelompok jihadis di Idlib. Dalam konteks ini, kelompok-kelompok bersenjata di Idlib tidak menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan Palestina, malah mendapatkan fasilitas pengobatan dari Israel.
Kekuatan intelijen dari negara-negara seperti AS, Inggris, dan Israel juga berkontribusi dalam meruntuhkan rezim al-Assad. Dengan dukungan dari kekuatan-kekuatan ini, kelompok-kelompok bersenjata di Suriah berhasil memanfaatkan momen ketidakstabilan untuk memperkuat posisi mereka.
Kejatuhan Damaskus dan runtuhnya rezim Bashar al-Assad menandai perubahan besar dalam peta politik Timur Tengah. Meskipun situasi di Suriah sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk nasionalisme, sektarianisme, dan intervensi asing, satu hal yang jelas: kekuatan yang merancang perubahan ini memiliki kalkulasi yang sangat akurat terhadap momentum yang ada.
Dengan kejatuhan al-Assad, Israel mungkin akan merasakan pengurangan ancaman keamanan yang selama ini menghantui mereka. Namun, masa depan Suriah tetap tidak pasti, dan tantangan baru akan muncul seiring dengan perubahan rezim. Sejarah menunjukkan bahwa konflik di kawasan ini tidak pernah sederhana, dan penyelesaian yang berkelanjutan masih jauh dari jangkauan.