Kisah Sunyi Sultan Hamid II

Kisah Sunyi Sultan Hamid II

Garuda Pancasila merupakan lambang negara Republik Indonesia yang menempati posisi tertinggi dan terhormat sebagai identitas negara. Lambang Garuda Pancasila dipasang secara khusus pada bangunan Istana Kepresidenan dan bangunan instansi negara lainnya.

Tentunya seluruh bagian tubuh Garuda Pancasila memiliki makna dan pesan khusus. Sayap kiri dan kanan mengembang seimbang dengan kaki mencengkeram pita bertuliskan Bahasa Sansakerta “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda-beda namun tetap satu jiwa. Sayap yang mengembang terdiri dari tujuh belas lembar bulu yang berarti tanggal kemerdekaan Indonesia dan delapan lembar bulu pada ekor yang menjurai ke bawah melambangkan bulan kedelapan atau bulan Agustus. Sementara itu, empat puluh lima helai bulu halus di leher penanda tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima. Maka genaplah 17  Agustus 1945 sebagai hari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui lambang negara Garuda Pancasila. Namun, tak banyak yang tahu bahwa Sultan Hamid II dari Pontianak, Kalimantan Barat, sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila.

Setelah Republik Indonesia Serikat atau RI dibubarkan tahun 1950. Sultan Hamid yang berhaluan federalis disingkirkan dari panggung politik Indonesia. Nama Sultan Hamid dikubur oleh lawan politik dari kubu Republik dengan stigma sebagai penghianat negara terkait dengan pemberontakan Westerling dalam peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA di Bandung tahun 1950.

Meskipun Mahkamah Agung memutuskan tak bersalah atas Sultan Hamid, namun ia tetap dijebloskan ke penjara dengan vonis 10 tahun akibat tekanan politik lawan-lawannya di 1953.

Namanya menjadi hitam dalam sejarah Indonesia.

Dan jasa-jasa besarnya masih terlupakan sampai hari ini.

Sosok Sultan Hamid II yang kontroversial sebagai tokoh beraliran federalis tentu harus menarik perhatian banyak orang Pontianak untuk melacak kepingan sejarah Sultan Hamid II ini.

Alasannya apa?

Yang pertama karena kita sendiri tidak diajarkan sejak sekolah dasar. Harusnya kita diajarkan dan diajak untuk menggali tokoh seperti ini.

Karena apa?

Menurut saya karena kita ini mau yang hitam dan yang putih. Jadi kalau sedikit abu-abu itu kita alergi. Sedangkan Sultan Hamid II adalah orang yang sangat unik. Di satu sisi mungkin dia berpandangan federal, tetapi yang bersangkutan juga adalah seorang desaginer lambang negara. Itulah juga satu keunikan, tetapi sebenarnya yang bersangkutan sangat nasionalis sekali.

Jelas setelah 1945, kiprah politik Sultan Hamid II mulai mentereng. Pada masa itu ia telah dinobatkan menjadi Sultan Pontianak ketujuh dengan membawahi 12 wilayah swapraja dan 3 neo swapraja yang tergabung dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat atau DIKB tahun 1947.

Satu tahun kemudian. Sultan Hamid diangkat menjadi Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) atau Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal yang terdiri dari 6 negara dan 11 wilayah otonom. Disitulah hubungan politik dengan Soekarno dan Muhammad Hatta mulai terjalin.

Masa dimana kedua tokoh proklamator tersebut diasingkan oleh Belanda di Muntok, Kepulauan Bangka Belitung, akibat Agresi Militer Belanda kedua 1948.

Meskipun negara Indonesia secara de facto telah merdeka tahun 1945, namun pihak Belanda masih setengah hati mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh. Akibatnya, pihak Belanda melancarkan agresi militer dua kali ke wilayah Indonesia.

Akhirnya menjelang Konferensi Meja Bundar di Belanda tahun 1949, Sultan Hamid berperan aktif membantu pihak Indonesia mempersiapkan strategi perundingan melalui Konferensi Inter Indonesia yang diselenggarakan dua kali di Yogyakarta dan di Jakarta. Ketua Yayasan Sultan Hamid II Ansari Dimyati menilai peran Sultan Hamid sangat besar sebagai juru runding Negara bersama Soekarno dengan pihak Kerajaan Belanda dalam penyerahan kedaulatan agar Indonesia diakui kemerdekaannya secara internasional pada tahun 1949 itulah.

Peran sentral Sultan Hamid II terlihat sekali. Kita ketahui Indonesia ini tidak akan berdaulat dalam konsi Meja Bundar. Kalau Sultan Hamid II tidak tanda tangan di Konferensi Meja Bundar tersebut. Karena kita ketahui bahwa delegasi-delegasi yang menandatangani komprensi Meja Bundar itu ada ada tiga pihak. Yang pertama perwakilan Belanda itu bernama Johannes Henricus van Maarseveen, itu yang mewakili pihak Belanda. Kemudian yang mewakili pihak Republik Indonesia Drs.  Mohammad Hatta dan yang mewakili BFO atau Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal ini adalah Sultan Hamid II dari Pontianak.

Sesudah Konferensi Meja Bundar di , Sultan Hamid dan seluruh anggota BFO memutuskan bergabung ke negara Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat atau RIS.

Kemudian dalam formatur kabinet RIS Sultan Hamid II menduduki jabatan Menteri Negara tanpa departemen pada tahun 1949 hingga 1950.

Kemudian Presiden Soekarno menugaskan Sultan Hamid untuk menyiapkan gedung parlemen dan lambang negara berdasarkan Konstitusi RIS tahun 1949 Pasal 3 ayat (3).

Turiman Fathurrahman Nur, pengajar hukum tata negara Universitas Tanjung Pura Pontianak secara gigih menggali proses perancangan Garuda Pancasila yang belum terungkap selama ini.

Sebagai putra daerah Kalimantan Barat hatinya tergerak untuk membuktikan peran besar Sultan Hamid II sebagai perancang Garuda Pancasila secara ilmiah melalui tesisnya di Universitas Indonesia. Untuk literatur sebenarnya tidak jadi masalah. Sudah beliau dapatkan semuanya. Tapi data dokumen karena ini metodeologinya yang digunakan adalah sejarah hukum harus bisa dibuktikan dengan dokumen sezaman.

Berdasarkan hasil penelusuran Turiman dalam sidang kabinet tanggal 10 Januari 1950, dibentuk panitia lambang negara di bawah koordinasi Sultan Hamid II. Tugas panitia lambang negara membuat sayembara terbuka pembuatan lambang negara. Hasilnya, ada 2 karya terbaik milik Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin yang diajukan ke panitia lambang negara.

Dalam seleksi berikutnya hasil karya Muhammad Yamin ditolak panitia karena mengandung unsur sinar matahari yang dianggap identik dengan fasisme Jepang. Berbekal sketsa-sketsa berupa Garuda di berbagai candi di Pulau Jawa, benda mitologi, lambang kerajaan Nusantara di abad ke-9, dan lambang organisasi yang dikirim oleh Ki Hajar Dewantara. Sultan Hamid mulai merancang lambang negara. Sultan Hamid melakukan sketsa awal. Sketsa awal ini yang dilakukan pertama kali oleh beliau adalah membuat perisai Pancasila. Kenapa? Karena Sultan Hamid II dipesankan bahwa lambang negara yang akan dibuat ini adalah lambang negara yang bisa merepresentasikan dasar negara atau filosofis bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.

Turiman mencatat tahap pertama perancangan figur Garuda Pancasila yang dibuat Sultan Hamid ditolak oleh panitia lambang negara. Menurut M. Natsir, garuda dengan tangan manusia memegang perisai terkesan mitologi dan feodal. Untuk memperbaiki rancangan sebelumnya, Sultan Hamid II membandingkan lambang negara-negara di luar RIS yang banyak menggunakan burung elang Rajawali.

Pada perancangan tahap kedua, Sultan Hamid II mengubah figur burung Garuda menjadi burung elang Rajawali dengan kepala tanpa jambul dan kaki yang mencengkeram dari arah belakang. Hasil rancangan tersebut dibawa ke dalam rapat parlemen RIS dan disahkan menjadi lambang negara RIS pada 11 Februari 1950.

Awal bulan Maret, Presiden Soekarno meminta Sultan Hamid II untuk menyempurnakan lagi dengan menambah jambul di kepala Garuda dan mengubah cengkraman kaki ke arah depan.

Hasil revisi tersebut dilukis oleh Dullah, pelukis istana Kepercayaan Soekarno. Lalu Sultan Hamid berkonsultasi dengan Dirk Ruhl Jr., ahli semiotika berkebangsaan Jerman yang menggambar ulang dari lukisan Dullah untuk menyempurnakan bentuk kaki Garuda. Kemudian sketsa tersebut diserahkan kepada Presiden Soekarno untuk diberi disposisi berisi pernyataan Presiden Soekarno yang menetapkan sketsa inilah yang harus dipakai menjadi lambang negara pada 20 Maret 1950, seperti yang kita kenal sekarang ini.

Hasil penelitian ilmiah Turiman selama empat tahun mendorong pengakuan negara terhadap Sultan Hamid II sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila. Di dalam sebuah seminar tentang lambang negara yang digelar di Pontianak tahun 2000 menghasilkan rekomendasi masyarakat Kalimantan Barat terhadap beberapa pasal dari Undang-undang Dasar 45.

Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR ikut hadir dalam seminar di Pontianak tahun 2000 itu, menyambut positif upaya yang dilakukan masyarakat Kalimantan Barat.

Oleh para cendikiawan di Pontianak ingin mengembalikan bahwa sebetulnya dia tidak menjadi dalang dan bersalah sehingga dihukum sepuluh tahun.

Intinya masyarakat Kalimantan Barat memang ingin mengembalikan nama baik Sultan Hamid II, karena secara faktual, sejarah, historis tidak bisa kita abaikan, tidak bisa kita ingkari bahwa beliaulah yang ditugaskan oleh Bung Karno untuk memimpin tim perancang lambang negara kita. Garuda Pancasila yang sekarang ini menjadi lambang negara resmi kita. Seperti disepakati dan tercantum dalam Pasal 36 lambang negara Republik Indonesia ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Itu tercantum dalam pasal 36 A, pasal 36 B, usulan juga dari Kalimantan Barat, lagu kebangsaan Indonesia adalah lagu Indonesia Raya. Pasal 36 C bahwa bendera, bahasa, lambang negara, lagu kebangsaan diatur lebih lanjut dari Undang-undang Negara 1945.

Hasil usulan amandemen pasal-pasal yang diusulkan oleh masyarakat Kalimantan Barat.

Akhirnya disetujui yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 24/2009.

Akan tetapi, ada kekecewaan masyarkat Kalimantan Barat kembali lagi, ketika undang-undang tersebut diundangkan. Pada Pasal 58 ayat (1) itu disebutkan bahwa pengubah lagu Indonesia Raya adalah Wage Rudolf Supratman. Akan tetapi, di pasal sebelumnya Pasal 46, hal tersebut hanya dituangkan muatan materi lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila. Akan tetapi, tidak disebutkan sama sekali siapa perancang lambang negara.

Hal itu yang menjadi permintaan dan menjadi tuntutan masyarakat Kalimantan Barat untuk memasukkan muatan materi bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Indonesia. Garuda Pancasila berdiri sejajar dengan Pasal 58  ayat (1) itu. WR. Supratman sebagai pengubah lagu Indonesi Raya.

Max Yusuf Alqadrie, sekretaris pribadi Sultan Hamid II juga ikut merasa kecewa dengan hasil amandemen tersebut. Meskipun demikian, ia tetap optimis untuk terus berjuang meraih pengakuan konstitusi.

Sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi Sultan Syarif Abu Bakar Alqadrie di Kesultanan Pontianak tahun 2004. Dalam kesempatan tersebut, Kesultanan Pontianak memberi gelar kepada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Datok Widyanegara. Selain itu, Sultan Pontianak juga memberikan amanah kepada Susilo Bambang Yudhoyono untuk memperjuangkan pengakuan konstitusi atas nama Sultan Hamid II.

Karena untuk melihat masa depan Indonesia, kita harus belajar dari sejarah bangsa.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *