Kok Bisa Putra Diktator Menang Pilpres? Bukti Dahsyatnya Kekuatan Medsos

Kok Bisa Putra Diktator Menang Pilpres? Bukti Dahsyatnya Kekuatan Medsos

Sepintas foto ini terlihat biasa saja. seseorang anak muda dari Asia tengah berpose dengan mengenakan atribut Western, pakaian dan mobil.

Tapi coba kamu lihat lagi secara seksama dan bandingkan dengan foto yang satu ini. Orangnya sama. Yang membedakan ialah kali ini ia berfoto dengan orang lain orang lain itu adalah Ferdinand Marcos. “Orang Kuat” dari Filipina.

Pemuda di kedua foto ini merupakan putra satu-satunya; Ferdinand Marcos Jr. atau populer dengan panggilan Bongbong. Ketika foto ini diambil sekitar 1978 Marcos masih berkuasa dan menikmati segala keistimewaannya. Berjarak 4 dekade kemudian Bongbong terpilih sebagai presiden.

Bicara soal Filipina nyaris tidak bisa lepas dari keberadaan keluarga Marcos. Apa yang terjadi saat Marcos berada di pucuk kekuasaan turut membentuk wajah politik Filipina saat ini.

Dan rasa-rasanya yang muncul di Filipina tak berbeda jauh dengan Indonesia.

Jalan politik Marcos dimulai saat perang dunia kedua usai Marcos yang tumbuh dari keluarga tuan tanah di wilayah Ilocos Norte. Merupakan veteran perang, ia mengawali karirnya menjadi asisten dari Presiden Filipina waktu itu Manuel Roxas. Marcos masuk ke dunia politik dengan bekal yang cukup mengesankan. Ia paham dan jago hukum yang ditandai dengan kelolosan di setiap fase ujian. Dari asisten Roxas, kiprah Marcos merangkak naik. Dia jadi anggota DPR selama 10 tahun, berlanjut ke senator, sebelum akhirnya duduk di kursi ketua senat Filipina. Dalam rentang 16 tahun telah menancapkan namanya dalam ranah politik, terutama di ruang legislatif. Modalnya dianggap cukup, dan pada 1965 ia memutuskan maju ke kontestasi yang lebih tinggi; pertarungan presiden.

Lawan Marcos yaitu Diosdado Macapagal, politikus kawakan sekaligus petahana. Marcos diuntungkan popularitas Macapagal yang merosot, lantaran pemerintahannya digoyang sejumlah kasus suap dan korupsi. Di waktu bersamaan Marcos dapat dukungan besar dari konstituen di wilayah rural yang mayoritas bekerja menjadi petani. Marcos mencitrakan dirinya sebagai kawan wong cilik dan janji-janjinya cukup populis. Akhirnya Marcos keluar menjadi pemenang.

Awal pemerintahan Marcos ditandai dengan pembangunan infrastruktur serta pembukaan keran investasi asing dalam skala besar. Marcos juga memberikan karpet merah bagi konglomerat untuk membesarkan bisnis mereka dengan tujuan menggenjot pertumbuhan ekonomi. Jelang akhir periode pertama pada 1969 kondisi perekonomian Filipina dihantam krisis utang. Agar selamat dari jurang masalah Marcos meneken kesepakatan dengan IMF untuk restrukturisasi ekonomi dalam negeri. Kesepakatan itu membuat kebijakan ekonomi Filipina berganti haluan dari sebelumnya substitusi impor menjadi orientasi ekspor. Persoalannya langkah-langkah itu tak mampu membendung persoalan yang sebetulnya sudah mengakar dan berasal dari satu titik. Watak dari rezim Marcos sendiri.

Pemerintahan Marcos dibarengi dengan praktik-praktik culas yang menguntungkan lingkaran terdekatnya dari keluarga, teman dekat, sampai para pengusaha kaya raya, yang nantinya dapat predikat kroni. Metode memperkaya diri dan korupsi yang dilakukan Marcos cukup beragam. Pertama mengambil untung dari bantuan internasional. Ada riset yang memperlihatkan bahwa bantuan dari pihak pendonor seperti AS dan World Bank mengalir deras di Filipina. Totalnya bisa sampai 10 miliar USD selama rentang 1962 sampai 1983. Bantuan tersebut mencakup ekonomi sampai pembangunan pangkalan militer. Pembangunan pangkalan militer di Filipina adalah kepentingan geopolitik AS dalam rangka perang dingin atau cold war. Dengan kata lain Filipina merupakan sekutu penting bagi AS untuk menghalau komunis dan pengaruh komunis di Asia Tenggara. Saat Marcos berkuasa, ia diduga menarik biaya sewa dari pangkalan ini.

Contoh berikutnya masih melibatkan AS. Tatkala perang Vietnam meletus, saat jadi Senator Marcos menolak mengirim pasukan untuk membantu AS di Vietnam. Penolakan itu lalu berubah jadi dukungan ketika Marcos menjabat presiden. Usut punya usut perubahan ini terjadi tepat setelah AS bersedia mendanai Filipina lewat The Philippine Civic Action Group atau PHILCAG, yang berfokus pada keamanan dan intelijen. Dana yang disalurkan AS ke PHILCAG menyentuh angka 38 miliar USD. Dan Marcos sendiri diduga kuat mengemplang sebagian buat kepentingan pribadi.

Marcos juga memanfaatkan bank negara dalam rangka memperkaya diri. Testimoni petinggi Bank Negara Filipina (PNB; Philippine National Bank ) menyatakan bahwa ada 27 Juta USD milik PNB yang dialihkan untuk kepentingan Marcos dan keluarganya. Pernah pula dalam satu waktu Imelda, istri Marcos, menarik 14 juta USD via sekretarisnya di PNB cabang New York. Uang itu tidak dikembalikan sepeser pun.

Presiden merupakan jabatan eksekutif tertinggi di Filipina dengan segala hak dan kewenangannya yang berderet, termasuk dalam pengelolaan sumber daya maupun sektor bisnis negara. Inilah yang turut jadi arena bermain Marcos. Marcos meminta uang komisi atas sektor bisnis yang dikelola negara, jika ada pengusaha yang hendak berpartisipasi di sana. Seorang pengusaha bernama Jose Reyes memberi kesaksian bahwa selama 10 tahun, ia sudah memberi komisi sebesar 25 juta USD ke Marcos agar lancar berbisnis. Penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Marcos tidaklah itu saja. Marcos memberikan karpet merah monopoli bisnis kepada keluarga dan kroni-kroninya di sejumlah sektor, dari telekomunikasi, transportasi, konstruksi sampai pariwisata. Mereka yang memperoleh karpet merah ini mendapatkan pula hak istimewa seperti kemudahan kredit, pengurangan bunga, atau pinjaman darurat. Paul D. Hutchcroft, ilmuwan politik dari ANU ( Australian National University ) mengatakan bahwa metode semacam itu bukan gaya baru, perbedaannya hanyalah Marcos menjadikan sistem itu lebih tersentralisasi dan berskala besar. Sementara Ricardo Manapat, intelektual terpandang di Filipina, bilang kalau apa yang terjadi di era Marcos merupakan wajah gamblang kapitalisme kroni presiden. Dalam hal ini Marcos menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan kelompok elit baru yang bergerak bak pemburu rente. Setiap kewenangan negara dalam wujud pemberian kontrak, lisensi, konsesi sampai monopoli punya nilai tukar berupa komisi yang bervariasi.

Semua uang yang dikeruk dari proses tersebut diolah setidaknya menggunakan dua cara. Cara pertama yakni mencuci uang itu memakai perusahaan cangkang. Uang hasil cucian tersebut lantas diinvestasikan ke sejumlah aset properti. Sementara cara kedua ialah menyertakan uang ke deposit bank di dalam dan luar negeri atas nama pihak lain. Negara yang jadi tujuan ialah Swiss. Kejaksaan di Swiss pada 1995 pernah meminta persetujuan untuk pengembalian aset-aset yang terhubung dengan Marcos. Asetnya kata seorang jaksa adalah produk penipuan dari rezim Marcos. Data Bank Dunia menyebut bahwa korupsi yang dilakukan Marcos setara dengan 1,5 sampai 4,5% dari PDB tahunan di Filipina.

Pada 1969 Marcos terpilih jadi presiden untuk kali kedua dan ia berambisi menambah masa jabatannya. Marcos bersiasat dan ia menemukan satu cara. Pada 1972 rentetan pengeboman muncul di kota-kota besar seperti Manila. Marcos lantas mengeluarkan pemberlakuan hukum darurat militer atau Martial Law sebagai solusi keamanan atas gangguan yang terjadi. Kelompok oposisi sendiri menuding Marcos jadi biang keladi namun hukum darurat tetap diterapkan. Marcos memakai Martial Law itu untuk menegakkan kekuasaannya dengan dalih menjaga ketertiban. Ia menghabisi kelompok oposisi, membungkam kebebasan sipil, membredel media, hingga menangkap para aktivis.

Kekuasaan Maros semakin kokoh manakala ia berhasil mengontrol tangan legislatif maupun yudikatif. Ini terlihat dari jumlah undang-undang yang diterbitkan langsung dari Marcos. Ada ribuan aturan yang diterbitkan Marcos selama berkuasa. Menandakan seberapa pengaruh dan dominannya mengontrol negara. Semua aturan itu mayoritas dibikin dengan kecenderungan yang memenuhi hasrat ambisi pribadinya.

Paus Yohannes Paulus II

Marcos sendiri akhirnya mencabut darurat militer itu pada 1981 bertepatan dengan rencana kedatangan Paus Yohannes Paulus II. Meski begitu jejak gelap hukum darurat militer tak lenyap. Catatan Amnesti Internasional memperlihatkan bahwa selama pemberlakuan hukum darurat militer, ribuan orang tewas dan disiksa, serta puluhan ribu lainnya dipenjara atau dihilangkan.

Kematian Ninoy Aquino ( tokoh oposisi yang populer, senator Benigno Simeon Aquino, Jr. ) memantik perlawanan besar dari massa rakyat yang kelak dikenal dengan People Power. Gerakan ini berhasil menumbangkan kediktatoran Marcos pada 1986. Setelah turun tahta Marcos sendiri kabur ke Hawaii dan meninggal pada 1991. Di waktu bersamaan pemerintahan Corazon Aquino ( Maria Corazon Sumulong Cojuangco Aquino, atau dikenal sebagai Cory Aquino, istri Ninoy Aquino ) meluncurkan upaya untuk mengembalikan semua aset dan uang yang dikorupsi Marcos. Pemerintah Filipina berhasil membawa pulang sekitar 5 miliar USD. Angka itu belum sepenuhnya lantaran masih banyak yang tertahan di pengadilan juga tak jelas rimbanya alias hilang. Gugatan untuk korban selama pemberlakuan Martial Law turut ditempuh. Pengadilan meminta keluarga Marcos membayar 2 miliar USD kepada lebih dari 15.00 korban, namun dari 2 miliar USD tersebut hanya 37 juta USD yang bisa dikumpulkan lewat penjualan barang seni maupun properti milik keluarga Marcos di AS. Karena Marcos sudah meninggal maka tuntutan hukum dialamatkan ke istrinya Imelda Marcos, yang terkenal dengan kaya hidup mewahnya. Dia terkenal karena mengoleksi ribuan pasang sepatu atau membangun kebun binatang yang sekarang tak terurus dan mengorbankan masyarakat yang tinggal di sana.

Pada 1993 Imelda Marcos divonis 2 hukuman pidana korupsi, tapi dibebaskan pada 1998. Tak hanya itu ketika didakwa atas 7 kasus korupsi dimana masing-masing setara hukuman 11 tahun penjara Imelda terhindar dari bui sebab usianya sudah 89 tahun. Padahal kasusnya cukup berat, yaitu menyalurkan secara ilegal duit negara senilai 200 juta USD ke rekening pribadi dan yayasan di Swiss pada 1970-an.

Di luar upaya hukum yang ditujukan kepadanya Imelda masih bisa membangun karir politiknya. Dua kali ia maju dalam pemilihan presiden dan keduanya tak berujung kemenangan. Gantinya ia terpilih jadi anggota kongres mewakili Leyte, kampung halamannya, dan Ilocos Norte, tempat kelahiran Marcos, dalam dua rentang waktu berbeda di 1995 dan 2010.

Garis politik itu ditempuh pula oleh putra satu-satunya Ferdinand Romualdez Marcos Jr. atau yang lebih dikenal dengan Bongbong. Berbeda dengan Imelda, karir politik Bongbong bisa dikata mulus. Mulai dari jadi gubernur Ilocos Norte sebanyak 2 periode berturut, anggota senat hingga kongres, sampai di titik pada 2021 kemarin ia maju kontestasi pilpres dan hasilnya banyak di luar prediksi adalah kemenangan.

Berbagai analisis menyebut kemenangan Bongbong tidak berasal dari gagasan atau program yang ditawarkan. Riset ini menyebut bahwa ada tiga faktor kunci yang membuat Bongbong menang.

Pertama ialah dukungan terhadap Duterte (Rodrigo Duterte, presiden sebelumnya). Meski diselimuti kontroversi dan kritik akibat kebijakan perang melawan narkoba, pemerintahan Duterte ternyata punya tingkat penerimaan yang tak kecil, Survei memperlihatkan bahwa lebih dari 80% responden mendukung Duterte. Dengan kata lain mereka yang mendukung Duterte akan lebih besar kemungkinan memilih Marcos karena salah satunya ia menggandeng putri Duterte, Sara, sebagai wakilnya.

Faktor kedua yakni persepsi terhadap ayah Bonggong, Marcos, dan pemberlakuan hukum darurat militer pada 1970-an. Survei menunjukkan bahwa persepsi responden kepada Marcos dan Martial Law berada di angka 80 hingga 90%. Dua temuan itu memberi gambaran bahwa masyarakat Filipina tertarik kepada bentuk demokrasi yang tidak liberal dan karenanya mereka percaya kepada pemimpin yang tegas atau cenderung otoriter.

Temuan-temuan itu juga mungkin dapat menjelaskan tuntutan kesinambungan dan dengan demikian dukungan kepada Bongbong tetap tinggi meski ada kemunduran demokrasi yang menandai pemerintahan Duterte.

Persepsi yang positif terhadap rezim Marcos ini tak lepas dari bagaimana citra maupun informasi soal mereka didistribusikan lewat platform media sosial dari YouTube, Instagram sampai Facebook dan Tiktok.

Ambil contoh salah satu disinformasi paling sering muncul adalah tentang bagaimana masa Martial Law dan kekuasaan Marcos dinarasikan sebagai masa keemasan Filipina, lantaran masyarakatnya hidup sejahtera dan semua berjalan baik-baik saja. Sedangkan di Facebook lebih chaos lagi. Berita hoax mengenai keluarga Marcos yang punya emas sampai ratusan ribu ton menyebar masif. Satu grup Facebook yang terkenal bernama “Bongbong Marcos for progress, peace and prosperity” bahkan bilang kalau Bongbong terpilih maka masyarakat Filipina bakal mendapatkan emas. The VERA Files, organisasi independen pengecek fakta mengatakan disinformasi soal Bombong dan kekayaannya meningkat drastis jelang pemilihan. Usaha untuk memberi label atas informasi tersebut sebagai berita sesat telah dilakukan tapi tidak dapat menghentikan asumsi pemilih di kalangan akar rumput yang meyakini bahwa pembagian kekayaan dapat benar-benar terjadi jika Bongbong menang.

Faktor ketiga yaitu pemilu di Filipina erat kaitannya dengan etnis linguistik. Bongbong kelimpahan dukungan dari masyarakat dengan bahasa penutur Ilocano. Dukungan kepada Marcos semakin kuat manakala ia menggandeng Sara Duterte yang berasal dari Davao, selatan Filipina. Pulse Asia, lembaga survei bilang kalau dukungan terhadap Marcos meningkat dua kali lipat setelah bermitra dengan Sara Duterte. Marcos akan mendapat guyuran suara dari orang-orang selatan Filipina yang sebelumnya menjadi basis kemenangan Duterte pada 2016.

Pada akhirnya taktik itu berhasil membawa Bongbong merajai semua hasil survei dengan selisih yang besar atas pesaingnya dan berujung kemenangan telak saat Pilpres diadakan. Sekitar 59%.

Semua ia raih tanpa harus bersusah payah merumuskan dan melempar gagasan ke publik, menghindari pertanyaan serius dari wartawan, serta mengencangkan kampanye media sosial yang banyak dihuni pemilih-pemilih muda dengan bantuan influencer.  Dan satu lagi yang penting, terpilihnya Bongbong menegaskan betapa sulitnya menghapus jejak keluarga Marcos dalam peta politik di Filipina.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *