Mafia peradilan di Indonesia telah menjadi isu yang semakin mendesak, memengaruhi integritas sistem hukum dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kasus terbaru yang melibatkan mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Pelatihan Hukum, dan Peradilan Mahkamah Agung, Zarov Ricar, menunjukkan betapa dalamnya masalah ini. Dengan praktik suap dan kolusi yang terus berlanjut, sudah saatnya untuk melakukan pembersihan menyeluruh di institusi peradilan, khususnya di Mahkamah Agung. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana mafia peradilan beroperasi, dampaknya terhadap sistem hukum, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk memberantas praktik korupsi ini.
Regenerasi Mafia Peradilan
Mafia peradilan di Indonesia tampaknya tidak pernah hilang; sebaliknya, ia berkembang dengan cepat. Kasus Zarov Ricar, yang ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena terlibat dalam praktik makelar kasus, menjadi contoh nyata dari regenerasi ini. Zarof diduga menerima suap sebesar Rp20 miliar untuk mempengaruhi putusan hakim dalam kasus Gregorius Ronald Tanur, seorang terdakwa pembunuhan. Suap tersebut diberikan oleh pengacara Ronald, Lisa Rachmat, yang berusaha menyuap hakim agung agar menolak permohonan kasasi dari jaksa.
Temuan ini mengungkapkan motif yang lebih menjijikkan: hukuman tingkat kasasi yang jauh di bawah tuntutan jaksa dijatuhkan sekadar untuk memancing pengacara terdakwa agar menggugat putusan ke tingkat peninjauan kembali. Jika pancingan ini berhasil, hakim agung dan para makelar kasus akan mendapatkan lebih banyak uang suap. Ini menunjukkan bahwa mafia peradilan tidak hanya beroperasi di tingkat bawah, tetapi juga melibatkan pejabat tinggi di Mahkamah Agung.
Jaringan Korupsi di Mahkamah Agung
Sistem korupsi di Mahkamah Agung tidak bisa dipandang sebagai tindakan individu, melainkan sebagai bagian dari jaringan yang lebih luas. Zarov Ricar, dalam jabatannya yang strategis, memiliki kekuasaan untuk mengatur putusan hukum. Ia berwenang untuk memutasi, mendemosi, atau mempromosikan hakim, yang memberinya kemampuan untuk menyetir hakim-hakim dalam membuat putusan sesuai dengan pesanan.
Peran Pengacara dalam Jaringan Korupsi
Pengacara, seperti Lisa Rachmat dalam kasus ini, berperan sebagai perantara dalam praktik suap. Mereka mencari cara untuk mempengaruhi hakim agar mendapatkan putusan yang menguntungkan bagi klien mereka. Hal ini menciptakan lingkungan di mana integritas sistem hukum dipertanyakan, dan keadilan menjadi barang langka.
Penemuan uang tunai yang signifikan di rumah Zarof, hampir mencapai Rp1 triliun, semakin memperkuat dugaan bahwa ia terlibat dalam jaringan mafia peradilan. Ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di Mahkamah Agung tidak hanya melibatkan hakim, tetapi juga pengacara dan makelar kasus yang beroperasi di balik layar.
Kegagalan Reformasi Hukum
Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berbagai upaya reformasi hukum telah dilakukan untuk memberantas mafia peradilan. Namun, hasilnya belum memuaskan. Pembentukan lembaga antikorupsi dan berbagai kebijakan reformasi tidak mampu menghentikan praktik makelar hukum yang merajalela di semua level pengadilan. Kegagalan ini sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan institusi, seperti Mahkamah Agung, untuk melakukan bersih-bersih di internal mereka sendiri.
Ketua Mahkamah Agung yang baru, Sunarto, juga tidak terlepas dari dugaan penyelewengan. Rekam jejaknya yang buruk membuatnya sulit untuk membersihkan Mahkamah Agung dari praktik korupsi. Selain itu, kemenangan Sunarto dalam pemilihan ketua juga dipengaruhi oleh pengaturan suara yang dilakukan oleh Zarov Ricar, menunjukkan bahwa lingkaran setan mafia peradilan ini sangat sulit diputus.
Lingkaran setan mafia peradilan ini tidak akan terputus selama Mahkamah Agung tetap menjadi lembaga yang tanpa pengawasan. Meskipun undang-undang Komisi Yudisial sebenarnya telah membuka peluang untuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung, Mahkamah Agung justru menggugat undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, Komisi Yudisial kehilangan kewenangannya untuk melakukan pengawasan yang efektif.
Menggali Jaringan Korupsi di Mahkamah Agung
Dari penemuan uang tunai yang signifikan di rumah Zarov Ricar, terungkap bahwa praktik suap tidak hanya melibatkan satu individu, tetapi juga melibatkan jaringan yang lebih luas. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri dan mengungkap seluruh jaringan mafia peradilan yang ada di Mahkamah Agung. Dalam kasus Hasbi Hasan, misalnya, rekayasa putusan kasasi yang melibatkan pailit koperasi simpan pinjam di Semarang tidak dilakukan sendirian, melainkan melibatkan Hakim Agung seperti Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh.
Penelusuran jaringan makelar kasus di Mahkamah Agung menjadi sangat penting untuk mengurai benang kusut praktik mafia peradilan. Tanpa penelusuran yang menyeluruh, akan sulit untuk mengetahui sejauh mana praktik korupsi ini telah menyebar dan siapa saja yang terlibat. Jaksa harus berani untuk menelusuri setiap aliran uang dan setiap hubungan yang ada, termasuk kemungkinan suap dari para hakim yang ingin naik jabatan.
Dampak dari jaringan korupsi ini sangat luas, mencakup hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan peradilan. Ketika masyarakat melihat bahwa praktik suap dan kolusi terjadi di tingkat tertinggi, mereka akan kehilangan keyakinan bahwa keadilan dapat ditegakkan. Hal ini dapat berujung pada apatisme dan ketidakpuasan terhadap institusi hukum, yang pada gilirannya dapat memicu ketidakstabilan sosial.
Reformasi Hukum yang Gagal
Upaya-upaya reformasi hukum yang telah dilakukan sejak rezim ke rezim, termasuk pembentukan lembaga antikorupsi pada tahun 2004, terbukti tidak cukup untuk membasmi mafia peradilan. Meskipun ada berbagai kebijakan dan inisiatif yang dicanangkan, praktik makelar hukum terus merajalela di semua level pengadilan.
- Keterbatasan Pemimpin
Ketua Mahkamah Agung yang baru, Sunarto, juga tersangkut dugaan penyelewengan dalam penanganan perkara. Dengan rekam jejak yang sama buruknya, Sunarto tidak akan mampu membersihkan Mahkamah Agung dari praktik korupsi. Kemenangan Sunarto dalam pemilihan ketua pun diduga diatur oleh Zarov Ricar dengan mengarahkan suara hakim agung agar memilihnya. Lingkaran setan mafia peradilan ini akan terus berputar selama tidak ada tindakan tegas untuk memecahnya.
- Kurangnya Pengawasan
Salah satu penyebab utama mengapa mafia peradilan terus berkembang adalah kurangnya pengawasan yang efektif. Meskipun Komisi Yudisial dibentuk untuk mengawasi perilaku hakim, Mahkamah Agung menggugat undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan. Akibatnya, Komisi Yudisial kini hanya berfungsi sebagai lembaga penerima aduan tanpa kekuasaan untuk menghukum hakim yang berperilaku tidak etis.
Solusi untuk Mengatasi Mafia Peradilan
Untuk memberantas mafia peradilan, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan:
- Pemecatan dan Mutasi Hakim
Salah satu langkah awal yang perlu diambil adalah memecat semua hakim yang terlibat dalam praktik korupsi dan memutasi pejabat Mahkamah Agung yang tidak bersih. Ini akan mengirimkan pesan yang kuat bahwa praktik mafia peradilan tidak akan ditoleransi.
- Penguatan Kewenangan Komisi Yudisial
Komisi Yudisial harus diberikan kembali kewenangan untuk mengawasi dan menghukum hakim yang terlibat dalam praktik korupsi. Pengawasan yang ketat akan membantu mencegah praktik suap dan kolusi, serta meningkatkan akuntabilitas di dalam lembaga peradilan.
- Mencari Pemimpin yang Bersih
Penting untuk mencari orang-orang yang bersih dan berintegritas untuk memimpin lembaga-lembaga hukum. Pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik akan lebih mampu melakukan reformasi dan membersihkan institusi dari praktik korupsi.
- Membangun Kesadaran Publik
Masyarakat juga perlu diberdayakan untuk melaporkan praktik-praktik korupsi yang mereka saksikan.
Tantangan dalam Mewujudkan Reformasi Hukum
Meskipun langkah-langkah yang diusulkan dapat menjadi titik awal untuk memberantas mafia peradilan, tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan reformasi hukum sangat besar. Salah satu tantangan utama adalah adanya kepentingan politik yang sering kali menghalangi perubahan yang diperlukan.
- Kepentingan Politik yang Menghambat
Di Indonesia, banyak keputusan legislasi yang disusupi oleh berbagai kepentingan, baik dari kalangan politikus, pengusaha, maupun individu yang memiliki pengaruh. Hal ini menyebabkan revisi undang-undang, termasuk yang berkaitan dengan Komisi Yudisial, sering kali tidak mencerminkan kepentingan publik. Sebaliknya, keputusan-keputusan tersebut lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang ingin mempertahankan kekuasaan dan pengaruh mereka di dalam sistem hukum.
- Keterbatasan Sumber Daya
Selain itu, keterbatasan sumber daya juga menjadi kendala dalam melaksanakan reformasi. Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga hukum lainnya sering kali kekurangan anggaran dan personel yang memadai untuk melaksanakan tugas pengawasan dan penegakan hukum secara efektif. Tanpa dukungan yang cukup, upaya untuk membersihkan institusi dari praktik korupsi akan menjadi sangat sulit.
Membangun Sistem Hukum yang Berintegritas
Untuk mengatasi masalah mafia peradilan secara menyeluruh, perlu ada upaya yang terintegrasi untuk membangun sistem hukum yang berintegritas. Ini mencakup tidak hanya reformasi di Mahkamah Agung, tetapi juga di seluruh sistem peradilan.
- Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan pelatihan bagi hakim, pengacara, dan petugas hukum lainnya harus ditingkatkan. Pengetahuan yang baik tentang etika profesi dan integritas hukum akan membantu membentuk budaya hukum yang lebih baik. Selain itu, pendidikan publik tentang hak-hak hukum dan prosedur peradilan juga penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap praktik-praktik korupsi.
- Pengawasan yang Efektif
Pengawasan yang efektif harus dilakukan tidak hanya oleh Komisi Yudisial, tetapi juga oleh masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, diharapkan akan ada tekanan yang lebih besar terhadap lembaga peradilan untuk bertindak secara transparan dan akuntabel.
- Memperkuat Lembaga Penegak Hukum
Lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian dan Kejaksaan, juga perlu diperkuat untuk mampu melakukan investigasi yang mendalam terhadap kasus-kasus korupsi di peradilan. Kerjasama antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas akan sangat membantu dalam mengungkap praktik mafia peradilan.
Mafia peradilan di Indonesia merupakan masalah yang kompleks dan berakar dalam sistem hukum dan politik. Untuk memberantas praktik korupsi ini, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, termasuk pemecatan hakim yang terlibat, penguatan kewenangan Komisi Yudisial, serta pendidikan dan pelatihan untuk para pelaku hukum.
Namun, tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan reformasi hukum tidak boleh diabaikan. Kepentingan politik, keterbatasan sumber daya, dan kurangnya pengawasan yang efektif merupakan hambatan yang harus diatasi. Dengan membangun sistem hukum yang berintegritas dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan, diharapkan praktik mafia peradilan dapat diminimalisir, dan keadilan dapat ditegakkan di Indonesia.
Sebagai penutup, harapan akan sistem hukum yang bersih dan adil bukanlah hal yang mustahil. Namun, untuk mencapainya, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, lembaga peradilan, maupun masyarakat. Hanya dengan kerjasama yang erat dan kesungguhan untuk melakukan perubahan, kita dapat berharap bahwa hukum akan tegak dan keadilan akan ditegakkan di negeri ini.