Tahukah Kamu Bahwa Yang Menciptakan PAJAK Pertama Kali di Dunia Adalah FIRAUN?

Tahukah Kamu Bahwa Yang Menciptakan PAJAK Pertama Kali di Dunia Adalah FIRAUN?

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada Januari 2025 telah menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat Indonesia. Banyak yang menolak pengenaan PPN 12% ini, terutama karena dampaknya yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Awalnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa PPN 12% akan dikenakan hanya pada barang dan jasa mewah, dengan pengecualian untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan beberapa jenis jasa lainnya. Namun, pengumuman pemerintah ternyata tidak sesuai harapan, di mana beberapa bahan makanan, pendidikan, serta layanan rumah sakit premium tetap dikenakan pajak. Selain itu, aplikasi hiburan seperti Spotify dan Netflix juga dikenakan PPN 12%. Hal ini menimbulkan kegelisahan di masyarakat, dan pemerintah berjanji untuk segera merilis daftar barang yang dikenakan PPN 12% mulai tahun depan.

Di tengah kekhawatiran masyarakat ini, penting untuk memahami sejarah sistem pajak di Indonesia dan bagaimana hal ini berhubungan dengan rencana kenaikan PPN. Dalam artikel ini, kita akan membahas dua sosok penting yang memperkenalkan sistem pajak di Indonesia, yaitu Firaun dan Thomas Standford Raffles, serta implikasi dari rencana kenaikan PPN ini terhadap masyarakat.

Sejarah Pajak di Dunia dan Indonesia

Firaun: Pencipta Pajak di Dunia

Sistem pajak pertama kali muncul di peradaban Mesir kuno sekitar 300 SM, di mana Firaun memimpin dan menciptakan sistem pungutan negara kepada rakyat. Firaun mengenakan pajak atas berbagai barang, seperti gandum, tekstil, tenaga kerja, dan komoditas lainnya. Hasil pungutan pajak ini digunakan untuk modal pembangunan dan menjaga ketertiban sosial.

Firaun tidak menerapkan mekanisme pajak yang sama rata, melainkan sistem penyesuaian. Besaran pajak disesuaikan dengan kemampuan finansial objek pajak. Misalnya, pajak ladang ditetapkan lebih tinggi jika ladang tersebut sangat produktif, sementara ladang yang non-produktif dikenakan pajak lebih rendah. Keberadaan sistem pajak ini membuat warga Mesir harus bekerja ekstra agar pendapatannya tidak habis hanya untuk membayar pajak. Meskipun demikian, sistem pajak ini berhasil menambah pendapatan negara dan menjadi warisan yang diterapkan oleh banyak negara modern.

Thomas Standford Raffles: Orang Pertama Perkenalkan Pajak di RI

Setelah ribuan tahun sejak Firaun, sistem pajak baru hadir di Indonesia pada tahun 1811. Thomas Standford Raffles, yang datang ke Hindia Belanda atas nama Kerajaan Inggris, adalah orang pertama yang memperkenalkan pajak di Indonesia. Raffles meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia, dengan menganggap bahwa Inggris memiliki hak atas semua tanah, menggantikan kepemilikan raja-raja di Jawa. Para petani yang memiliki tanah atau bekerja di tanah orang harus membayar pajak tanah.

Praktik pajak yang diterapkan Raffles bukanlah upeti, melainkan berupa uang dan berlaku secara individual. Pajak tanah Raffles dikenakan kepada petani individual, bukan atas desa atau wilayah. Meskipun Raffles tidak merasakan hasil dari idenya menerapkan sistem pajak di Pulau Jawa, pajak diterapkan secara ketat oleh para penguasa baru setelah kepergiannya pada tahun 1816.

Pada tahun 1870, pemerintah kolonial memperkenalkan pajak pribadi, pajak usaha, dan pajak jual beli. Target pajak tidak hanya menjerat pribumi jelata, tetapi juga orang Eropa dan pribumi kaya raya. Namun, tetap saja, pribumi menyumbang pajak terbesar ke pendapatan pemerintah Hindia Belanda. Sekitar dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi yang sebagian besar terkena pajak tanah menyumbang 60% penghasilan Hindia Belanda.

Dampak Sistem Pajak Era Kolonial

Sistem pajak era kolonial hanya menguntungkan pemerintah, tanpa adanya timbal balik yang memadai bagi rakyat. Hal ini menimbulkan kesan bahwa rakyat diperas oleh pemerintah. Beranjak dari permasalahan ini, negara modern mengubah konsep pajak, tidak hanya untuk menambah pendapatan, tetapi juga sebagai sarana pemerataan dan peningkatan kesejahteraan. Namun, setelah lebih dari 200 tahun diterapkan di Indonesia, tujuan penerapan pajak masih jauh dari harapan. Sistem keadilan pajak masih dipertanyakan, dan uang pajak yang seharusnya dinikmati publik belum maksimal selayaknya di banyak negara yang membebaskan biaya pendidikan, rumah sakit, serta transportasi umum dari uang pajak.

Kontroversi Kenaikan PPN

Penolakan Masyarakat

Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat. Banyak yang merasa bahwa kenaikan ini akan membebani mereka, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Penolakan ini semakin kuat ketika masyarakat menyadari bahwa beberapa barang dan jasa yang seharusnya dikecualikan dari pajak, ternyata tetap dikenakan PPN. Hal ini menciptakan ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa pemerintah tidak transparan dalam kebijakan pajak ini.

Implikasi Ekonomi

Kenaikan PPN juga berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya tarif pajak, harga barang dan jasa akan ikut naik, yang pada gilirannya dapat mengurangi konsumsi masyarakat. Jika konsumsi menurun, maka pertumbuhan ekonomi juga akan terhambat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada pendapatan pemerintah, karena pajak yang diharapkan tidak tercapai jika masyarakat mengurangi pengeluaran mereka.

Janji Pemerintah

Pemerintah berjanji untuk merilis daftar barang yang dikenakan PPN 12% sebelum kebijakan ini diterapkan. Namun, banyak yang meragukan efektivitas dan kejelasan dari daftar tersebut. Masyarakat berharap agar pemerintah dapat memberikan penjelasan yang lebih rinci dan transparan mengenai barang dan jasa yang akan dikenakan pajak, serta alasan di balik keputusan tersebut. Keterbukaan informasi ini diharapkan dapat mengurangi ketidakpuasan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Harapan untuk Sistem Pajak yang Lebih Adil

Keadilan Pajak

Dalam konteks rencana kenaikan PPN, penting untuk menekankan perlunya sistem pajak yang lebih adil dan transparan. Keadilan pajak harus menjadi prioritas utama, di mana setiap warga negara membayar pajak sesuai dengan kemampuan finansial mereka. Pemerintah perlu memastikan bahwa pajak yang dipungut digunakan untuk kepentingan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat dari pajak yang mereka bayar.

Peningkatan Kesejahteraan

Sistem pajak yang baik seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan bagi negara, tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu berkomitmen untuk menggunakan pendapatan pajak untuk program-program yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan yang terjangkau, dan transportasi umum yang efisien. Dengan demikian, masyarakat akan lebih menerima kebijakan pajak yang ada, termasuk kenaikan PPN.

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 menimbulkan berbagai kontroversi dan penolakan di masyarakat. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, penting bagi pemerintah untuk memberikan penjelasan yang jelas dan transparan mengenai kebijakan pajak, serta memastikan bahwa sistem pajak yang diterapkan adil dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, harapan untuk sistem pajak yang lebih baik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *