Fenomena Unik dan Ironis dalam Pilkada Banjarbaru: Suara Tidak Sah Mengungguli Calon Tunggal

Fenomena Unik dan Ironis dalam Pilkada Banjarbaru: Suara Tidak Sah Mengungguli Calon Tunggal

Pemilu di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengalami suatu fenomena yang unik namun juga ironis. Pasangan nomor urut 01, Erna Lisa Halaby dan Wartono, menjadi satu-satunya kandidat yang tersisa, namun mereka kalah dari suara tidak sah di sejumlah tempat pemungutan suara. Meskipun suara tidak sah unggul, Lisa Halaby dan Wartono tetap dianggap menang karena ketiadaan opsi “kotak kosong”.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa mekanisme “kotak kosong” tidak dijalankan di daerah ini, dan bagaimana rekam jejak para calon walikota?

Pilkada Banjarbaru 2024 awalnya diikuti oleh dua pasangan calon. Pasangan Erna Lisa Halaby dan Wartono diusung oleh koalisi besar yang terdiri dari 13 partai politik, termasuk Gerindra, PAN, Golkar, Nasdem, Gelora, PKS, Garuda, PDIP, PBB, PKB, Demokrat, PSI, dan Perindo. Sementara itu, lawan mereka adalah pasangan Aditya Mufti Arifin dan Said Abdullah Alkaff, yang diusung oleh empat partai politik, yaitu P3, Ummat, Buruh, dan Hanura.

Aditya Mufti Ariffin adalah seorang pengusaha tambang batubara dan politisi yang pernah menjabat sebagai anggota DPR RI selama dua periode. Ia juga merupakan anak dari Rudy Ariffin, mantan Gubernur Kalimantan Selatan. Aditya tercatat sebagai komisaris di beberapa perusahaan, seperti CV Aditama Mandiri, PT Rajawali Angkasaputra, PT Bara Aditama, dan PT Bumi Surya Abadi. Kiprahnya di industri pertambangan membawanya dipercaya memegang jabatan sebagai Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kalimantan Selatan pada tahun 2007. Pada Pilkada Banjarbaru 2020, Aditya yang maju berpasangan dengan Wartono berhasil memenangkan kursi walikota dan wakil walikota.

Pilkada Banjarbaru 2024 menjadi sorotan seiring situasi yang terjadi setelah diskualifikasi pasangan Aditya dan Abdullah yang menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas dan mekanisme pemilihan di daerah ini.

Kali ini, Aditya Mufti Ariffin menggandeng Said Abdullah, seorang birokrat senior dengan jabatan terakhir sebagai Sekretaris Daerah Kota Banjarbaru. Aditya Ariffin menjadi tokoh dengan elektabilitas tertinggi dalam beberapa survei. Hasil survei LSI, misalnya, menunjukkan bahwa sebanyak 56,9% masyarakat mendukung dan memilih Aditya untuk kembali memimpin Kota Banjarbaru di periode selanjutnya.

Di sisi lain, Erna Lisa Halaby dan Wartono muncul sebagai penantang sang petahana. Nama Erna Lisa Halaby sebelumnya tidak pernah diperhitungkan dalam peta politik Banjarbaru. Ia tercatat sebagai Kepala Subbagian Kesejahteraan di lingkungan Pemerintah Kota Banjarbaru sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun pada 10 Juni 2024. Selain itu, Erna dan keluarga besarnya mendirikan Yayasan Abdul Aziz Halabi yang berfokus pada pendidikan sosial dan keagamaan.

Menariknya, Erna Lisa Halaby kemudian berpasangan dengan Wartono, yang merupakan pasangan Adityya di periode sebelumnya. Meskipun tidak diunggulkan dalam pertarungan elektoral kali ini, Erna Lisa Halaby mendapat dukungan langsung dari Andi Syamsuddin Arsyad, alias Haji Isam. Foto Erna Halaby bersama Haji Isam dan mantan pejabat Pemko Banjarbaru, Rustam Effendi, menjadi bukti dukungan dari Haji Isam untuk pasangan ini. Restu dan dukungan dari pemilik Jhonlin Group tersebut merupakan modal besar bagi para politisi Kalimantan Selatan untuk memenangkan kontestasi. Hampir semua kandidat yang didukung Haji Isam berhasil menang, baik di tingkat daerah maupun nasional, sebut saja Sahbirin Noor-Muhidin, Muhamad Rusli, hingga Jokowi dan Prabowo Subianto.

Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru secara resmi membatalkan pencalonan pasangan Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah sebagai calon walikota dan wakil walikota. Pembatalan ini mengacu pada surat rekomendasi yang diberikan oleh Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan. Babak baru terjadi saat pasangan Aditya Ariffin dan Said Abdullah didiskualifikasi oleh KPU Kota Banjarbaru pada 31 Oktober 2024. Pembatalan pencalonan pasangan ini merupakan hasil tindak lanjut rekomendasi dari Bawaslu Kalsel terkait dugaan pelanggaran administratif yang dilaporkan oleh rival mereka, Wartono.

Wartono mengajukan laporan mengenai penggunaan jargon “Juara” yang melekat pada berbagai program kegiatan Pemerintah Kota Banjarbaru, yang dianggapnya melanggar ketentuan kampanye.

Aditya Mufti Ariffin menyatakan keberatan terhadap laporan tersebut dan menyesalkan bahwa laporan itu ditangani langsung oleh Bawaslu Kalimantan Selatan, bukan oleh Bawaslu Kota Banjarbaru yang seharusnya lebih berwenang dalam menangani masalah ini.

Meskipun pasangan calon 02 telah didiskualifikasi, hasil rapat koordinasi antara KPU Kota Banjarbaru, KPU Kalimantan Selatan, dan KPU Pusat pada 18 November 2024 memutuskan bahwa pelaksanaan Pilkada Banjarbaru 2024 tetap akan menggunakan surat suara dengan mencantumkan kedua pasangan calon. Secara ideal, surat suara seharusnya menampilkan kotak kosong jika hanya ada satu pasangan calon. Namun, karena diskualifikasi terjadi mendekati hari pemungutan suara, KPU tidak diwajibkan untuk mencetak ulang surat suara dengan format kotak kosong. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu, biaya, dan logistik.

Empat hari setelah keputusan tersebut, KPU mengeluarkan keputusan nomor 1774, yang menyatakan bahwa suara yang dicoblos untuk pasangan calon yang telah didiskualifikasi akan dianggap sebagai suara tidak sah. Ketua KPU Banjarbaru, Dahtiar, juga menegaskan bahwa skema kotak kosong tidak akan berlaku pada Pilkada Banjarbaru 2024. Ia menyatakan bahwa surat suara akan dianggap tidak sah jika pemilih mencoblos pasangan calon yang telah dibatalkan.

Keputusan KPU Kota Banjarbaru untuk tidak menerapkan mekanisme kotak kosong dalam Pilkada 2024 telah menuai kritik dari berbagai kalangan, terutama para pengamat demokrasi. Mereka berpendapat bahwa langkah ini justru menguntungkan pasangan calon yang tidak dibatalkan, sementara masyarakat kehilangan pilihan yang seharusnya mereka miliki. Ketiadaan kotak kosong membuat pemilihan umum terasa tidak demokratis, karena apapun jumlah suara yang diperoleh, baik banyak maupun sedikit, tetap akan mengantarkan pasangan calon 01 sebagai pemenang.

Berbeda dengan mekanisme kotak kosong, yang jika menang akan memicu pemilihan ulang di tahun berikutnya, situasi saat ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan pemilih. Data dari lima kecamatan di Kota Banjarbaru, yang berhasil dihimpun oleh Gerakan Masyarakat Banjarbaru, menunjukkan bahwa suara tidak sah mencapai angka mencengangkan, yaitu 68,69%, sementara suara sah hanya 31,40%. Dominasi suara tidak sah ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap calon yang ditetapkan oleh KPU.

Masalah yang muncul adalah, jika mengikuti aturan KPU, suara masyarakat tidak dapat tersalurkan dengan baik. Jumlah suara, baik banyak maupun sedikit, tidak mempengaruhi hasil akhir.

Lantas, untuk apa diadakan pemilu jika masyarakat tidak memiliki pilihan lain?

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang fungsi dan makna pemilu dalam sistem demokrasi yang seharusnya memberikan suara dan pilihan kepada rakyat.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *