Sebelum Indonesia merdeka, ada sosok penting yang merancang masa depan bangsa ini dengan visi yang jauh ke depan: Tan Malaka. Pada tahun 1925, Tan Malaka menulis buku berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang menjadi salah satu karya awal yang memikirkan tentang kemerdekaan dan cita-cita republik. Buku ini muncul jauh sebelum Muhammad Hatta menulis Indonesia Merdeka pada tahun 1928 dan sebelum Sukarno menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933. Dengan pandangan yang tajam dan analisis yang mendalam, Tan Malaka sudah meramalkan kebutuhan akan sebuah republik yang merdeka dan berdaulat.
Tan Malaka bukan hanya seorang penulis; ia adalah pemikir yang menginspirasi banyak tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pemuda radikal seperti Sayuti Melik mengenang bagaimana Sukarno dan Ir. Anwari selalu membawa buku-buku Tan Malaka. Bahkan, salah satu tuduhan yang memberatkan Sukarno saat diadili di Bandung pada tahun 1931 adalah karena ia menyimpan buku-buku terlarang karya Tan Malaka. Dalam pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat, Sukarno banyak mengutip dari karya Tan Malaka, menunjukkan betapa besar pengaruh pemikirannya terhadap para pemimpin pergerakan pada masa itu.
Tan Malaka adalah sosok yang penuh misteri dan keahlian dalam penyamaran. Selama puluhan tahun, ia menjadi buronan imperialis internasional. Dalam konteks ini, ia layak disebut sebagai legenda hidup. Suatu ketika, saat Tan Malaka berada di Jakarta, ia bertemu dengan Sukarno dan menyatakan rasa senangnya bisa bertemu dengan presiden yang ia idamkan selama ini. Namun, perjalanan Tan Malaka tidak selalu mulus. Ketika Sukarno mengeluarkan testamen politik yang menyebutkan bahwa jika ia dan Hatta ditangkap, kepemimpinan revolusi akan diserahkan kepada Tan Malaka, rencana tersebut ditolak oleh Hatta, yang lebih memilih untuk melanjutkan kepemimpinan kepada pemimpin dari Partai Masyumi.
Sayangnya, enam bulan setelah pernyataan itu, Tan Malaka ditangkap oleh pemerintahan Sjahrir. Ia dituduh berencana melakukan makar dan menjadi penghalang bagi perundingan dengan Belanda. Penangkapannya merupakan bagian dari strategi sekutu untuk meredakan ketegangan dan memastikan perundingan berjalan lancar tanpa gangguan dari Tan dan pengikutnya. Meskipun ditangkap, pemikiran Tan Malaka tetap hidup dan berpengaruh. Panglima Besar Sudirman sendiri sepakat dengan ide-ide Tan Malaka yang menolak jalan diplomasi dalam menghadapi Belanda.
Setelah dibebaskan dari penjara pada September 1948, Tan Malaka kembali ke arena politik. Namun, dua bulan kemudian, pasukan Belanda berhasil menangkap Sukarno dan Hatta di Yogyakarta. Pemikiran Tan Malaka tentang ketidakbergunaan perundingan terbukti benar. Ia pernah berkata, “Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan orang yang menginap di rumahnya.” Ungkapan ini mencerminkan skeptisisme Tan Malaka terhadap niat baik Belanda dalam perundingan.
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka menolak tawaran Hatta untuk bergabung dalam pemerintahan. Ia memilih untuk tetap berada di belakang layar, membantu dari jauh. Meskipun Tan Malaka lebih tua dari Hatta dan memiliki pengalaman yang lebih luas, ia merasa bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh generasi yang lebih muda. Namun, perbedaan pandangan antara Tan Malaka dan Sjahrir mengenai diplomasi dan perundingan menyebabkan ketegangan di dalam gerakan.
Perbedaan latar belakang sosial dan ekonomi antara Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir juga menjadi faktor yang memengaruhi hubungan mereka. Tan Malaka lahir dalam keluarga bangsawan yang miskin, sedangkan Hatta dan Sjahrir berasal dari keluarga kelas menengah yang mapan. Meskipun sama-sama dibuang oleh Belanda, Hatta dan Sjahrir masih menerima penghasilan, sedangkan Tan Malaka hidup dalam pelarian tanpa pendapatan tetap.
Hubungan pribadi Tan Malaka dengan Sjahrir relatif baik, meskipun mereka sering berseberangan dalam pandangan politik. Sjahrir pernah menawarkan Tan Malaka untuk memimpin Partai Sosialis Indonesia, tetapi Tan Malaka menolak tawaran itu, tetap berpegang pada prinsip-prinsipnya.
Tan Malaka adalah sosok yang penuh dedikasi dan pengorbanan untuk bangsa. Meskipun sering terlupakan dalam narasi sejarah, kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar.